SolupL - Seorang novelis atau sastrawan Indonesia yang saat ini sedang naik daun, Eka Kurniawan, memukau warga Amerika Serikat di Washington DC, melalui karyanya, Cantik Itu Luka. Di ruang seminar dan toko buku ini, Eka menyapa peminat Sastra Indonesia dengan diskusi mendalam tentang sastra dan proses kreafitnya dalam menulis.
Eka Kurniawan. (Foto/int) |
Beberapa penghargaan literatur internasional memasukkan karyanya sebagai finalis, seperti Man Booker Prize. Eka bahkan memenangkan World Reader’s Award. Kunjungannya ke Amerika kali ini juga untuk menerima penghargaan Emerging Voice 2016 kategori fiksi.
Namun tak jarang, ia dibandingkan dengan penulis Indonesia angkatan sebelumnya, Pramudya Ananta Toer. “Selama beberapa waktu, orang hanya mengenal Pramudya, jadi ketika ada penulis Indonesia baru, mereka tentu saja membandingkannya dengan seseorang mereka kenal. Terlepas dari itu, Pramudya penulis berpengaruh untuk saya, dia salah satu favorit saya,” ujar Eka.
Ia mengakui sastra Indonesia punya banyak hambatan untuk dikenal komunitas internasional. “Pertama, harus kita akui, bahasa Indonesia bukan bahasa yang populer di dunia, karena itu masih susah untuk memperoleh penerjemah yang baik. Selain itu, dorongan kebijakan pemerintah atau lembaga pendukung lainnya harus sangat aktif,” jelasnya.
Namun, Eka optimistis sastra Indonesia bisa mendobrak batasan kultural yang sebelumnya ada. Bart Thanhauser, pernah tinggal di Indonesia mendapati buku Eka sebagai ekspresi jujur Indonesia. “Saya suka sekali dengan caranya menggabungkan sejarah, seni dan percintaan. Bukunya tidak beraturan dan itu alasan saya suka membacanya,” kata Bart.
Bagi mereka belum pernah mengunjungi Indonesia, mengenal Indonesia lewat tulisan Eka adalah pengalaman menarik. Seperti dikatakan Sarah Baline. “Menurut saya Eka hebat, ia sangat lucu dan bukunya berisi humor gelap dan ia menceritakan isi bukunya pada kami malam ini.”
Pengakuan internasional ini diikuti keprihatinan Eka terhadap rendahnya tingkat minat baca masyarakat Indonesia. Menurut survei UNESCO pada 2016, Indonesia menempati posisi ke-60 dari 61 negara yang disurvei tentang minat membaca mereka.
“Lemahnya tradisi membaca kita lebih bersifat struktural, memang keberadaan buku sangat susah untuk diperoleh terutama di luar daerah kota besar. Saya rasa kita harus berpikir dengan cara yang terbalik, kita dekatkan buku kepada mereka, bukan mereka yang harus datang,” jelas Eka dilansir dari VOA Indonesia.
Saat ini Eka sedang menanti penerbitan bukunya seperti ‘Dendam’, ‘Rindu Harus Dibayar Tuntas’ dalam bahasa Inggris. Eka belum berencana menulis buku lagi setelah novel terbarunya ‘O’ terbit dalam bahasa Indonesia. (bbs/int)
EmoticonEmoticon