Membaca judul tulisan ini barangkali akan segera muncul beragam interpretasi dalam dalam pemikiran kita sebagai respons terhadap kalimat yang sekaligus jadi premis. Salah satu pertanyaan yang mungkin relevan untuk diajukan, mungkinkah di lingkungan intelektual bisa terjadi patologi sosial gawat semacam itu? Paradigma yang bagaimana yang dikembangkan memandang persoalannya, sehingga muncul terminologi menakutkan tersebut?
Ilustrasi. |
Simak misalnya laporan khusus yang diangkat Bahana Mahasiswa edisi Juli 2002 tentang adanya sinyalemen beberapa dosen yang memakai gelar imitasi. Kasus tersebut bukan hanya mencoreng wajah dunia akademis yang dikenal dengan intelek. Tapi juga memunculkan gugatan yang kurang lebih sama sebagai penghinaan terhadap kaum intelektual. Dari perpspektif moral, kasus ini bisa dipandang sebagai bentuk dekadensi akhlak yang menjangkiti sebagian akademisi kita. Hampir bisa dipastikan bahwa motivasi oknum-oknum yang memilih jalan pintas tapi memalukan itu adalah semata-mata untuk kepentingan pribadi yang tidak rasional. Mereka praktis abai terhadap tanggung jawab sebagai pedadog, baik tanggungjawab moral maupun tanggungjawab profesi.
Gelar itu sejatinya didapat dari kerja keras, dedikasi pengabdian, dan sumbangan ilmu yang dapat memajukan peradaban masyarakat. Pendidikan bukan aktivitas yang money oriented. Mentang-mentang punya duit, lalu beli gelar yang ujung-ujungnya digunakan sebagai sarana kemudahan cari duit.
Parahnya, fenomena ini bukan hanya terjadi di kalangan dosen. Para mahasiswa juga tampaknya turut terjangkiti. Tidak sedikit mahasiswa untuk meraih gelar sarjananya, tidak benar-benar melakukan penelitian. Banyak skripsi yang datanya fiktif. Kondisi ini didukung oleh menjamurnya penyedia jasa pembuat skripsi dengan memungut biaya sejumlah tertentu. Dengan bahasa yang lebih ofensis boleh dikatakan bahwa banyak sarjana itu yang tidak pantas jadi sarjana. Mereka miskin ilmu. Miskin apresiasi. Kurang memiliki sensivitas terhadap budaya akademis. Padahal, konsensus yang disepakati bersama perihal kaum intelektual adalah berilmu, berakal, berbudaya, punya personalitas dan karakteristik yang fokus pada kemajuan. Ketiadaan akan hal inilah yang saya coba rumuskan sebagai demoraslisasi di lingkungan intelektual.
Jika dikaji lebih jauh dan diungkap lebih jujur, masih panjang deretan yang menjadi indikasi adanya demorasliasi di lingkungan akademis kita. Bukan hanya di Unri, tapi di seluruh pendidikan tinggi di Indonesia sinyalemen itu pasti ada. Masalahnya narkoba, misalnya. Hampir tidak bisa disangkal bahwa kualitas dan kuantitas pengguna barang-barang laknat itu sangat tinggi persentasenya. Bahkan media massa pernah melansir berita tentang tertangkapnya pengedar narkoba berstatus mahasiswa.
Hal yang tak kalah miris, ada kecenderungan gaya premanisme yang diterapkan para mahasiswa baik di lingkungan organisasi maupun dalam aktivitas keseharian. Menyadur apa yang ditulis Suka Hardjana di harian KOMPAS (1/9/2012), banyak orang yang bangga bila disebut beringas dan buas. Padahal beringas dan buas itu secara etimologi digunakan orang-orang zaman dahulu untuk menggambarkan keliaran binatang seperti singa, harimau dan binatang-binatang buas lainnya. Ini berarti banyak orang yang bangga disamakan binatang. Sikap beringas dan buas itu sadar atau tidak cenderung diekspresikan sebagai upaya menunjukkan superioritas yang keliru.
Dalam konteks keorganisasian hal tersebut sering terlihat dalam bentuk-bentuk perdebatan dan adu argumentasi yang terkadang sampai menghujat. Padahal, saling menyerang itu merupakan salah satu tanda merosotnya moral, atau makin terpinggirkannya etika prilaku dalam aktivitas keseharian kita.
Tanpa bermaksud untuk mendiskreditkan organisasi tertentu, ada organisasi mahasiswa yang membuat pertandingan domino. Saya kira ini sangat bertentang dengan predikat kita sebagai mahasiswa. Bukankah lebih baik, jika dibuat program lomba pidato bertema kondisi aktual yang terjadi di sekitar kita? Program semacam ini selain bermanfaat untuk mengembangkan diri, juga sangat baik dijadikan momen untuk belajar mempertanggungjawabkan julukan kita sebagai agen perubahan dan kontrol sosial.
Lalu apa sebenarnya moral itu? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia secara eksplisit dijabarkan bahwa moral adalah ajaran tentang baik-buruk, akhlak, budi pekerti, susila, keadaan mental yang membuat seseorang bersemangat, bergairah dan berdisiplin. Moral inilah yang menjadi refleksi bagi seseorang untuk menentukan apakah ia berperilaku baik atau tidak. Sopan atau tidak. Kebaikan perilaku, ketidaksopanan dan miskin budi pekerti inilah yang sebenarnya disebut demoralisasi.
Pertanyaannya, adakah ukuran baku yang secara tepat mendeskrispsikan dikotomi antara yang amoral dan bermoral? Friedrich Nietzsche, filsuf Jerman, dalam bukunya berjudul Genealogi Moral menjabarkan bahwa tindakan-tindakan moral yang sebenarnya ditujukan untuk daya guna.
Dikotomi baik dan buruk tidak lagi dimaknai dari esensi dan substansinya, tapi sudah dipolitisir. Baik untuk kelompok yang satu belum tentu baik untuk kelompok yang lain, dan sebaliknya.
Orang-orang yang merasa superior, lebih pintar, lebih kuat, sering mengklaim konsep baik baginya, dan buruk adalah untuk orang-orang yang dianggapnya bodoh dan lemah.
Organisasi kemahasiswaan nampaknya perlu lagi disoroti untuk menjelaskan hal ini. Kita banyak memiliki organisasi yang berbasis banyak ideologi. Para aktivis atau pelaku organisasi itu secara faktual sering menganut ideologi organisasinya dengan fanatisme berlebihan, sehingga forum diskusi dan kosolidasi antar organisasi yang berbeda ideologi, cenderung tidak pernah ada. Banyak ada sinyalemen permusuhan antara organisasi yang satu dengan organisasi lainnya. Fenomena ini kurang lebih sering melanda organisasi berbasis religius. Konsekuensinya, muncul klaim: kami benar (baik), mereka salah (buruk).
Primordialisme, sukuisme dan paham-paham kedaerahan ternyata masih sangat kuat kuat mengikat kita. Para mahasiswa masih sering menyebut ukuran baik dan buruk berdasarkan suku, daerah dan agama masing-masing. Dengan demikian, sikap hormat dan penghargaan terhadap pihak lain di luar dirinya sering terabaikan. Ada pandangan-pandangan sinis, kurang respek, bahkan kecenderungan melecehkan pihak lain di luar primordialnya. Inilah bentuk laten demoralisasi paling berbahaya dan sulit dicari akar masalah dan solusinya.
Penjabaran di atas kiranya cukup menggambarkan betapa demoralisasi sangat kompleks cakupannya. Bentuk eksplisit dan implisitnya sudah menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari. Maka, kita harus menumbuhkan kesadaran terhadap bahaya-bahaya demoralisasi itu. Jika tidak, kita tidak akan pernah tumbuh jadi intelektual sejati.
Beberapa solusi yang bisa disikapi adalah sebagai berikut. Pertama, menanamkan kesadaran dalam diri bahwa kita adalah subjek paling bertanggungjawab terhadap stagnasi moral dan mandeknya dekadensi peradaban. kedua, mengesampingkn subjektivisme pemikiran dan absolutisme gagasan, yang sering menyeret sikap dan karakter kita tumbuh menjadi manusia yang kurang toleran.
Terakhir, menumbuhkan kehidupan spritual yang bebas dan intervensi sekteranisme dan fanatisme sesuai dengan agama masing-masing. Sehingga, nilai-nilai spritual itu bisa kita terjemahkan dalam berbagai konteks dengan tetap berpijak pada kebenaran. ***
* Artikel lawas saat belajar menulis, terbit di Surat Kabar Kampus (SKK) BAHANA MAHASISWA Universitas Riau (Unri), Edisi Agustus-September 2002.
EmoticonEmoticon