Puisi-puisi Panda MT Siallagan
Jampi
Sekali ingin kembali
pada takdir semula jadi
Bangun amat pagi, merapal jampi
pada Mulajadi. Di lembah semedi,
merasai lagi warna-warna bumi,
menunggang burung, meliuki gunung,
jadi mata burung, meretas jurang-jurang,
menyapa para binatang, oh...Mulajadi.
Indah kembali, pada takdir semula jadi,
siang terhayati, beringin menaungi,
menyulur khayali, akar-akar sungai,
mengintip matahari mandi-mandi,
di dasar batu, mengayuh raga sendiri,
tak berbaju bagai datu, manusia lampau,
padu pada bumi, oh… Mulajadi.
Kembangkanlah gerbang kembali
pada bius mula jadi, asali leluhur kami,
sungguh kami ingin kembali, runduk
memundak buruan ke mulut gubuk,
menyalakan tungku menunggu
malam jatuh, menyedot keluh
demi nyala kunang-kunang, dan burung
hantu mengerang, mengiring perjamuan
melahap berkah hutan di bawah rembulan,
tapi oh… Mulajadi, kami tak bisa kembali
pada sunyi lagi, di rantau jiwa kami tergari,
kota demi kota sudah sakti
mengusir jampi-jampi
Pematangsiantar, 2016
Aubade Penenun
Di lembah mimpi yang baka,
ia dengar gemuruh pesta, seperti dengkur raja,
mencabik bumi gorga. Ia terjaga
dan bersaksi tentang subuh
yang jatuh diterjang gondang bertulah.
Berapa banyak kematian hari ini?
Ia bangkit dan menenun kicauan burung,
sebab mantera tak mengijinkan ulos dibentang
terkembang di pintu rumah panggung, betatapun
tortor menuai perang di ujung zaman
Seperti itu waktu berdetak di lembah mimpinya,
ia berpesta dan mabuk menenggak sirih,
menyusuri gemerisik benang. Benang yang
menyulurkan sepi di dinding tugu-tugu
Oh, Mulajadi Na Bolon, sepanjang usia
kusulam darah, kujahit umpasa-umpasa,
mengubur waktu pada wangsit-wangsitmu,
kini mengapa aku tersalib?
Dihadang ogung dan seruling, ia terus menenun,
menenun rambut leluhur yang menari-nari
membakar upacara, memuja wahyu
pada bibir datu-datu, pada selendang di bahu,
selendang yang melayang-layang
menghembuskan akhir zaman di lembah tidurnya
Ketika riuh pesta usai, ia berhenti di makamnya,
turun ke lembah, menenun jasadnya ke dinding batu
Pematangsiantar, 2016
Titah Tubuh
Jadi begini kata hatinya pada Tuan di langit, peniup awan jadi embun, yang menghembus embun jadi hujan, peneduh seluruh pagi yang terbakar:
Tiada terjauhkan rumpun bambu suatu waktu dari lagu-lagu gembala, maka madahkanlah padaku, ale Tuan di langit, tuan mula penaja tanah, raja segala belukar, lantunkanlah seruling pada sepiku agar mambang tercerabut dari tubuh ini. Sebab telah tersungkur aku dihasut hantu api di pagi yang terbakar itu, hukum raja yang tak pernah tua sudah menghanguskan rambutku, mengoyak wajahku, melemparkan kulitku jadi hamparan bukit tandus.
Sebab begini kata hatinya pada Raja di langit, peruntuh segala cahaya, yang menghamparkan cahaya jadi lagu, penghalau api dari warna-warna tulah:
Jangan kau biarkan aku telentang, ale Raja di langit, terkapar di lembah gersang serupa naga yang mati ditembak penjudi, penjudi yang datang dari lapo-lapo angit, pemadat-pemadat adat yang berpantun tentang ubat-ubat, tapi kucurkanlah terang jadi ubat kudus, ale Raja di langit, sebab aku tak ingin jadi titah angker tentang utusan yang tak berwajah, tak bertangan dan tiada berkaki, ale Raja di langit, titahkanlah kesuburan pada ladang-ladang itu sebelum petang membawaku raib ditelan bulan.
Maka begini kata hatinya pada Guru di langit pada petang itu saat gembala menggiring kerbau dan lagu-lagu menuju rumah di tubuh yang mengabu:
Sudah lama, ale Guru di langit, aku menyeru, jika kiranya benua-benua harus terhapus dari tubuhku, bertuahlah rumpun-rumpun bambu penangkal angin, bertuahlah bambu jadi seruling, lagukanlah gulma dan rumput-rumput jadi aku, tebusan wajah dan tubuh seperti sesungguhnya bisa kau batukan aku sejak mula jadi, sejak kau takdirkan manusia berperas-peluh, mesti berletih sebagai tanda diberi nafas, ale Guru di langit, titahkanlah tubuh ini seputih jiwamu.
Pematangsiantar, 2016
Catt: Puisi-puisi termaktub dalam Buku bertajuk “Matahari Cinta, Samudra Kata”, buku puisi tertebal di Indonesia, yang diluncurkan pada Malam Anugerah Hari Puisi Indonesia di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 12 Oktober 2016 oleh Wakil Presiden RI Jusuf Kalla. Antologi puisi ini disusun Rida K Liamsi dengan tebal 2016 halaman dan memuat karya dari 216 penyair dari berbagai daerah di Indonesia. Panda MT Siallagan salah satu penyair Batak yang menyumbangkan karya dalam buku tersebut.
EmoticonEmoticon