Puisi-puisi Panda MT Siallagan
Jangan Tanya
Jangan tanya mengapa pohon-pohon selalu menghijau di hatiku, padahal akar yang merammbat dari rambutmu sudah membusuk direndam airmata.
Jangan tanya mengapa taman kian menawan di dadaku, padahal bunga-bunga yang mekar di matamu telah hangus dibakar peperangan.
Datanglah sesekali mengunjungi jiwa-jiwa yang hilang, di sini telah tumbuh luka-luka jadi kehidupan.
Pekanbaru, 2004
Kalau Aku Mati
Seandainya ada yang harus kucatat di dinding hatimu, mungkin hanya desah doa yang mampu kugariskan. Seandainya ada yang mesti kualirkan di rongga darahmu, mungkin hanya sisa ingatan yang bisa kukirimkan.
Rawatlah segalanya saat aku berlayar menuju keabadian. Sebab setiap kita pasti bersua lagi di dalam mimpi yang merapat di dermaga baka.
Pekanbaru 2004
Malam Menggali Kuburan di Dadaku
Setiap kali kulihat gerimis runtuh dari mataMu, lalu selalu tumbuh di dadaku. Dan ombak-ombak menggelombangkan risau, membangun malam dari deru nafasMu. Dan bayangmu berhembus mengabuti para pelayar.
Dan setiap gerimis runtuh lagi dari mataMu, serpih-serpihnya selalu beterbangan jadi api, membakar perahu-perahu. Pantai, dermaga, dan semenanjung melayang jadi abu, seperti melukis malam kematian di rongga paruku. Maka, setiap kali kuhayati gerimis yang runtuh dari mataMu, malam seperti menggali kuburan di dadaku.
Pekanbaru, 2004
Rumah
Sudah selapuk rindumu rumah itu. Dingin dan lembab yang mengalir dari matamu, melukiskan sunyi pada dindingnya.
Ketika kau berkunjung membawa rindu, lantainya sudah berlubang-lubang digali luka. Nafasmu tersentak. Kau berlari ke halaman, tapi pekarangan sudah usang.
Tak ada lagi taman, juga bunga-bunga untuk dipetik sebagai kenangan dan sejarah. Sejauh apa kita telah mengembara?
Pekanbaru, 2004
* Puisi-puisi ini pernah terbit di Harian Riau Mandiri, 27 Februari 2005
Ilustrasi. |
Jangan Tanya
Jangan tanya mengapa pohon-pohon selalu menghijau di hatiku, padahal akar yang merammbat dari rambutmu sudah membusuk direndam airmata.
Jangan tanya mengapa taman kian menawan di dadaku, padahal bunga-bunga yang mekar di matamu telah hangus dibakar peperangan.
Datanglah sesekali mengunjungi jiwa-jiwa yang hilang, di sini telah tumbuh luka-luka jadi kehidupan.
Pekanbaru, 2004
Kalau Aku Mati
Seandainya ada yang harus kucatat di dinding hatimu, mungkin hanya desah doa yang mampu kugariskan. Seandainya ada yang mesti kualirkan di rongga darahmu, mungkin hanya sisa ingatan yang bisa kukirimkan.
Rawatlah segalanya saat aku berlayar menuju keabadian. Sebab setiap kita pasti bersua lagi di dalam mimpi yang merapat di dermaga baka.
Pekanbaru 2004
Malam Menggali Kuburan di Dadaku
Setiap kali kulihat gerimis runtuh dari mataMu, lalu selalu tumbuh di dadaku. Dan ombak-ombak menggelombangkan risau, membangun malam dari deru nafasMu. Dan bayangmu berhembus mengabuti para pelayar.
Dan setiap gerimis runtuh lagi dari mataMu, serpih-serpihnya selalu beterbangan jadi api, membakar perahu-perahu. Pantai, dermaga, dan semenanjung melayang jadi abu, seperti melukis malam kematian di rongga paruku. Maka, setiap kali kuhayati gerimis yang runtuh dari mataMu, malam seperti menggali kuburan di dadaku.
Pekanbaru, 2004
Rumah
Sudah selapuk rindumu rumah itu. Dingin dan lembab yang mengalir dari matamu, melukiskan sunyi pada dindingnya.
Ketika kau berkunjung membawa rindu, lantainya sudah berlubang-lubang digali luka. Nafasmu tersentak. Kau berlari ke halaman, tapi pekarangan sudah usang.
Tak ada lagi taman, juga bunga-bunga untuk dipetik sebagai kenangan dan sejarah. Sejauh apa kita telah mengembara?
Pekanbaru, 2004
* Puisi-puisi ini pernah terbit di Harian Riau Mandiri, 27 Februari 2005
EmoticonEmoticon