Penyair dan Hujan
Karena aku penyair,
bahasa adalah tanah
Seperti hujan,
kuhempaskan tubuhku tanpa ragu
di wajah bahasa.
Karena aku tahu,
tanah sangat rapi menyimpan air
menyulingnya hingga murni
seperti mutiara
2003
Sebab Kau Telah Tidur di Awan
Aku melukis sajadah di mataMu, tapi tak selesai. Sebab warna-warni dari jemariku gagal membaca arus yang menderas dari situ. Desah doaku melebam di hantam batu-batu di setiap dasar sungai.
Bagaimanakah luka ini bisa memelukMu yang tidur dia awan?
Kanvas yang kurakit dari luka usia, robek diiris-iris pisau rambutMu. Kujelma dalam detik-detik, jadi kuas dari airmata.
Maka rinduku gugur, Kau tak menyahut. Tahulah aku, Kau sudah tidur di awan, mengabuti mata jiwaku.
2003
Sajak Sunyi
Surat-suratMu beterbangan dari ombak-ombak kecil, menggariskan lengking seruling gembala pada malam yang mengapung di atas danau.
Parapat 20-04-04
Sajak Peluh
Kau masih setia menugali tanah, menemani keringatmu. Jika hujan luput mengirimkan kesejukan langit, air surga selalu mengucur dari keningmu, menghalau haus dari ladang tandus.
Lalu kau tanami semangatmu. Kau siangi segala cemas dari tanaman wortel, tomat, cabe, kacang panjang, dan batang-batang jagung yang terus memburu usiamu.
Hingga saatnya kau panen doa-doamu, gulma tak lagi menggali luka di hati anak-anakmu. Tangis mereka telah menguap jadi tawa, membubung seperti asap dari dapur gubukmu, menemui Tuhan, menyampaikan syukur.
Kebahagiaan yang kau pungut dari ladang membubung juga ke angkasa, menemui pelangi. Lalu bercerita tentang kasih hujan yang tak sudah-sudah dari mata dan pori-porimu. Maka peluh itu, lelah itu, adalah hidup itu.
2004
EmoticonEmoticon