Puisi-puisi Panda MT Siallagan
Ilustrasi. |
Tiga ikan lele, dinamai seperti ini: tanah, udara dan langit
Tanah untuk darah, udara untuk luka. Dan langit untuk roh.
Pagi itu, pembunuhan seolah terjadi untuk pertama kali
Maka ritual dimulai dengan tangis. Mulut pisau merintih:
“Maafkan, kelak kita pasti bersua. Aku akan menjengukmu.”
Ikan lele pertama menggelepar. Serupa gempa. Tapi sunyi:
jikalau tanah retak, saat itulah dosa ditanggalkan,
bumbu-bumbu menunggu dengan tenang. Tak perlu isak itu
Si bermula tanah tak mesti kembali ke tanah
Darah di bibir pisau mengasah rasa lapar
Berapa lamakah tragedi ini akan rampung?
Jemari di gagang pisau mengerang:
“Maafkan aku, kita berpisah. Kelak kita pasti bersua.”
Ikan lele kedua meradang. Serupa petir. Sebait wahyu berkelebat:
jikalau si pembunuh tak dihukum, saat itulah nyawa bersandar
pada lidah api, seperti kuali menanti sesaji dari jiwa koki. Usah sepi
Yang bernafas tak mesti abadi pada udara
Pemilik pisau gemetar, tegun dipermainankan takdir,
airmatanya meringis: “Maafkan aku, Tuhan menyayangimu.”
Ikan lele ketiga berteriak, “Kau membunuhku dengan lembut,
seperti dapur menyumbat takdir para babu.”
Seseorang menangis pagi itu, kehilangan dirinya,
seolah pembunuhan baru pertama kali terjadi
“Aku bukan pemuja api, dan tak ingin terbakar,” katanya.
Lalu seseorang itu pergi, mencari sosoknya yang hilang,
entah pada api atau kuali, bertanya mengapa pada pagi itu
kesedihan teramat menggigit. Tiga ekor lele menyambut
seharum tanah, sehangat udara, sebening langit,
tapi yang termasuki hanya roh-roh sepi
Ikan lele pertama diam di antara bumbu, merayakan ajal:
yang bermula dari tanah sesekali remuk jua di rongga
yang tiada mengenal lumpur. Ikan lele kedua kelu
di dinding kuali, merayakan makam: biarlah,
adakala yang bernafas terkubur di lindap perut
Ikan lele ketiga bisu, menghayati kematian di ujung api
Pemilik kuali meraung dipermainankan takdir:
“Wahai, aku sudah datang, Tuhan menyayangi kita.”
Pematangsiantar, 2016
Isyarat
Saat mengenangmu dengan mantera, kubiarkan burung hantu
memundak syair ke gedung tua dan gua-gua, sebab ke lubang batu
kita kelak terdampar, seperti kitab kayu merawat mitos-mitos purba
Aku ingin burung hantu memahat puisi di dinding gedung tua
dan gua-gua, agar tak sepi nanti leangleangmandi datang
membawa segumpal tanah untuk kuburan jiwa, kubiarkan burung
hantu berkuak meringkus mimpi. Mimpi yang selesai
di tanah-tanah terjanji, tanah kita berlelah merebut api,
sebab ladang-ladang sudah terkutuk di mulut padoha,
raja yang gagal jadi menantu dewa. Sungguh dengan mantera
aku mengenangmu, sebab leangleangmandi tak lebih sakti
dari merpati: budak waktu yang terkutuk di sayap puisi
dan kita bunuh diri di ujung kepak itu. Burung hantu menari
di gedung tua dan gua-gua, dan kita memanjat puisi
yang melumut di dinding-dinding gulita, saat itulah mimpi
terdengar bagai kuak burung hantu di atas kota-kota
dan orang-orang tergelincir mengemas doa. Tapi aku
tak melihatmu dan kau tak menemukanku dalam keriuhan itu,
tapi saling dengar di antara bunyi yang mengutuk raga
jadi burung hantu meski tak sua kita dengan leangleangmandi,
tapi dalam mantera kita bersekutu lagi
Pematangsiantar, 2016
EmoticonEmoticon